Selasa, 22 Februari 2011

Resiko Tinggi Energi Nuklir

Pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia berisiko tinggi, karena Indonesia berada di daerah yang rawan gempa dan tsunami, kata anggota Dewan Energi Nasional. Dengan kondisi itu, kalau pun tetap dibangun butuh teknologi tinggi dan ketersediaan uranium yang memadai, sehingga investasi proyek tersebut juga tinggi.

Rinaldy Dalimi, Anggota Dewan Energi, mengatakan untuk membangun PLTN jauh lebih mahal daripada pembangkit dengan menggunakan sumber energi lainnya. Investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik per kilowatt hour (Kwh) diperkirakan US$ 4.000 lebih mahal dibanding pembangkit dengan bahan bakar batu bara sekitar US$ 800- US$ 1.200 per kWh.

Harga jual listrik dari nuklir sekitar US$ 8-11 sen per Kwh. Harga itu masih harga di pembangkit, belum termasuk bila listrik didistribusikan ke pelanggan. Harga jual ini lebih mahal dibandingkan tarif listrik dari batu bara maupun gas yang di bawah US$ 8 sen per Kwh.

Pengembangan PLTN juga memerlukan ketersediaan uranium yang memadai. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) menyatakan cadangan uranium di Indonesia sekitar 53 ribu ton, 29 ribu di Kalimantan Barat dan 24 ribu sisanya di Bangka Belitung, sehingga tidak ekonomis untuk dikomersialkan. "Jangan sampai kita sudah bangun PLTN, ternyata beberapa tahun kemudian harus impor uraniumnya," ujar Rinaldy kepada IFT di Jakarta, akhir pekan lalu.

Penggunaan teknologi tinggi untuk pembangkit energi nuklir tidak dapat menyelesaikan masalah karena tidak ada yang bisa memprediksikan skala gempa yang akan terjadi. Dia mencontohkan PLTN Kasiwazaki Kariwa di Jepang yang dibangun dengan teknologi yang bisa menahan gempa sampai 6 skala richter. Setelah 20 tahun beroperasi terjadi gempa di luar kemampuan desain PLTN sehingga meretakkan reaktornya.

“Kita selalu bandingkan dengan Jepang. Mereka menguasai teknologi nuklir, mulai dari pengolahan limbah, pengamanan bencana. Indonesia kan tidak,” ujar guru besar Fakultas Teknik, Universitas Indonesia ini.

Eko Maulana Ali, Gubernur Bangka Belitung, sebelumnya menyatakan wilayah Bangka Belitung siap dijadikan pengembangan PLTN berkapasitas 10.600 megawatt di Teluk Inggris, Bangka Barat. Pembangunan PLTN itu sudah diusulkan ke BATAN. Badan tersebut menilai Bangka Belitung memenuhi 17 syarat untuk membangun PLTN, antara lain kondisi tanah yang baik dan lokasi berada di dekat pantai, struktur tanahnya dengan kedalaman 15 meter masih ada batu granit.

Murtaqi Syamsuddin, Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PT PLN (Persero), saat dikonfirmasi mengatakan pihaknya belum memiliki rencana untuk membangun PLTN karena belum adanya kebijakan pemerintah soal pembangunan PLTN hingga 2019.

Selain belum ada kebijakan yang mendukung ini, faktor pendanaan juga menjadi kendala untuk merealisasikan pembangunan PLTN ini. Biaya investasi untuk membangun PLTN dengan kapasitas 1.000 megawatt sekitar US$ 2-US$ 3 miliar. Dengan dana US$ 3 miliar, PLN bisa membangun pembangkit berbahan bakar batu bara dengan kapasitas 2.000 megawatt.

PLN baru bisa membangun PLTN asalkan tiga syarat yang meliputi kebijakan, pendanaan dan teknologinya bisa terpenuhi. "Kami hanya operator. Kami hanya wait and see bagaimana kebijakan pemerintah soal ini," ujar Murtaqi kepada IFT.

Hasrul Laksamana Azahari, Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan pemerintah masih belum dapat memastikan waktu pengembangan PLTN di Indonesia. Indonesia harus harus bersiap-siap jika ke depan PLTN jadi dikembangkan.

Johan Baratha, Kepala Pusat Pengembangan Geologi Nuklir, BATAN menyatakan PLTN aman dibangun di Indonesia. Ketakutan akan terulangnya bencana yang terjadi di reaktor nuklir Chernobyl, Rusia pada 26 April 1986 tidak perlu terjadi. “Kalau sekarang ada gangguan, sistem dalam PLTN akan secara otomatis mengamankan. Misalnya ada gempa, lalu reaktornya retak, dia akan terkubur otomatis. Bukan dengan tanah, tapi dengan timah hitam,” ujar Johan

Menurut Johan, pembangunan PLTN tidak harus dilakukan di dekat lokasi penghasil uranium. Bisa saja, pembangkit itu dibangun di daerah lain yang tidak rawan gempa dan tsunami. Penggunaan uranium juga bisa menjadi alternatif untuk mendapatkan energi murah untuk pembangkit listrik, apalagi semakin lama harga batu bara dan minyak terus meningkat.

Saat ini harga uranium sekitar US$ 73 per pound, sedangkan harga batu bara sekitar US$ 123 per ton dan minyak US$ 85 per barel, padahal energi listrik yang dihasilkan dari tiga gram uranium setara dengan tiga ton batu bara.

Menurut analisis Departemen Riset IFT, pengembangan PLTN di Indonesia harus memenuhi ketentuan International Atomic Energy Agency (IEAE) yang mempersyaratkan studi tapak (field study). Lokasi pembangunan PLTN harus dianalisis riwayat kegempaan hingga 100 tahun ke belakang. Diluar itu struktur tanah dan batuan dibawahnya juga harus dilihat. Sampai saat ini, studi tapak PLTN yang sudah dilakukan hanya di Tanjung Muria, Jawa Tengah.

Pengembangan PLTN akan ekonomis jika dibangun dengan kapasitas terpasang 900 megawatt. Sebuah kompleks PLTN juga tidak mengoperasikan hanya satu pembangkit PLTN, sekaligus dua atau empat bahkan lebih PLTN, karena persiapan infrastrukturnya memang biasanya skala besar. Infrastruktur yang dibutuhkan antara lain air laut pendingin, jalan raya, dan radius aman yang harus dibebaskan dari penduduk.

Pemerintah Indonesia juga perlu memikirkan kebutuhan listrik di pulau yang padat penduduknya. Karena itu, transmisi PLTN dari Bangka Belitung ke Jawa yang padat penduduknya harus dipikirkan. Kebutuhan dan pertumbuhan listrik di Jawa masih tinggi.

Opsi lain yang bisa dipilih adalah Bangka Belitung dijadikan kawasan industri yang memerlukan energi ekstra besar seperti peleburan besi baja, peleburan alumunium, timah, dan tembaga. Hal ini sangat layak dikembangkan mengingat Bangka Belitung adalah produsen timah terbesar kedua di dunia.

Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=7152529

0 komentar: